Istimewa
Laporan: Prabu Galuh | Editor: Tedy M
GosipHangat.com – Jika ada satu nama yang harus diingat dalam sejarah tinju amatir Indonesia, itu adalah Pino Jeffta Udayana Bahari. Petinju berbakat ini lahir dari keluarga Bahari, yang dikenal sebagai “dinasti tinju” di Bali. Sejak kecil, Pino sudah ditempa dengan keras oleh sang ayah, Daniel Bahari, yang merupakan pelatih tinju kawakan era 1980-an.
“Ayah saya punya metode latihan yang ekstrem. Sejak bayi, saya sering dijatuhkan untuk melatih ketahanan fisik,” kenang Pino. “Ayah selalu bilang, ‘Tidak ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya’.” Didikan keras itu menjadikannya petarung sejati, meski ia harus berlatih di Sasana Sakti Bali, gym sederhana yang melahirkan banyak petinju nasional.
Tahun 1990 menjadi momen emas bagi Pino. Di usia 16 tahun, ia menorehkan sejarah sebagai petinju Indonesia terakhir yang merebut medali emas Asian Games di Beijing. Bukan kemenangan yang mudah—ia bertarung dengan cedera parah di kedua jarinya.
“Tidak ada pilihan lain. Saya harus menahan sakit setiap pukulan,” ungkapnya. Tapi pengorbanannya terbayar lunas. Hingga kini, prestasi tersebut belum terulang oleh petinju Indonesia lainnya.
Tahun 1996, Pino sebenarnya sudah lolos kualifikasi Olimpiade Atlanta. Namun takdir berkata lain—cedera saraf tulang belakang membuatnya harus mundur dari impian terbesarnya.
“Saat melihat upacara pembukaan di TV, saya menangis. Seharusnya saya ada di sana…”
Namun, di balik kegagalan itu, Pino menemukan panggilan lain dalam hidupnya. Ia mendalami spiritualitas dan memilih menjadi pendeta. Meskipun begitu, darah tinjunya tetap mengalir. Ia masih aktif melatih petinju muda, termasuk Daud Yordan, juara dunia tinju tiga divisi.
“Dia bukan cuma pelatih, tapi seperti abang sendiri. Kami tak hanya berlatih tinju, tapi juga berdiskusi soal kehidupan,” kata Daud.
Dulu, keluarga Bahari adalah kerajaan tinju di Bali. Daniel Bahari mendirikan dua sasana, salah satunya di dataran tinggi Badung, tempat latihan fisik ekstrem bagi para petinju. Namun, seiring waktu, kejayaan itu mulai memudar.
“Zaman dulu, hiburan terbatas. Sekarang, gadget mengalihkan perhatian generasi muda,” sesal Pino.
Sejak 2018, banyak sasana tinju milik keluarga Bahari mulai terbengkalai. Meski begitu, Pino dan adik-adiknya tetap setia melatih di Sasana Sakti Bali, meskipun metode keras ala ayah mereka semakin sulit diterapkan di era modern.
Kini, di usia 52 tahun, Pino bekerja di perusahaan pengamanan sambil tetap melatih tinju secara sporadis. Namun, ia harus menerima kenyataan pahit—sang istri tidak ingin anak-anak mereka meneruskan jejaknya di ring tinju.
“Tak ada jaminan sosial dari pemerintah untuk atlet,” ujar istrinya.
Meskipun kecewa dengan stagnasi prestasi tinju Indonesia, Pino tetap optimis.
“Di level Asia saja, kita masih tertinggal. Tapi saya yakin, suatu hari nanti, akan ada yang bisa mengulang sejarah saya,” katanya penuh harapan.
Legenda mungkin bisa pensiun dari ring, tapi semangatnya tak akan pernah mati. (*)